Selasa, 29 Oktober 2013


Kreatif : Tak Harus Canggih dan Mahal
(Dicuplik dari Buku “Menyemai Kreator Peradaban”)

Tadi pagi saya mengungkapkan bahwa dengan bekal pola pikir kreatif, anak didik akan mampu melihat multiperspektif utk menjaga persatuan dan keberagaman, dan juga mampu menghadapi dunia yang kian rumit.

Untuk memunculkan kreativitas anak didik tersebut tidak harus dengan alat yang canggih dan mahal. Siapa yang bakal menyangka bak mandi penuh air adalah tempat munculnya hukum Archimedes? Atau, jatuhnya buah apel jadi persitiwa lahirnya hukum gravitasi?



Pada prakteknya, kreativitas tak ditentukan oleh kecanggihan atau kemahalan alat bantu. Sebab, proses kreatif tidak terjadi dari sesuatu yang “nothing”, tapi berlangsung dari sesuatu yang “already there.” Obyek berpikir betul-betul ada, tetapi orang kreatif memahami dan menelusurinya dengan cara berbeda dari biasanya (Possitive Skill, 1997).

Sebagai contoh, kita berikan kepada peserta didik gambar kotak persegi panjang dengan lebar 4 cm dan panjang 6 cm. Biasanya pertanyaannya adalah berapa kelilingnya? Jawabannya hanya satu: pasti 20 cm.

Coba sekarang kita berikan kepada para siswa seutas kawat sepanjang 20 cm. Lalu dari kawat itu kita suruh mereka membuat kotak sesuka mereka, baik sendiri-sendiri maupun kelompok. Biarkan mereka berkreasi dengan kawat itu sesuai dengan imajinasinya.

Maka, setidaknya akan tercpita 5 model kotak. Ada yang lebarnya 1 cm dan panjangnya 9 cm. Ada yang 2 cm banding 8 cm, ada yang 3cm dan 7 cm. Ada yang 4 cm dan 6 cm. Dan, ada pula yang 5 cm dan 5 cm. Dari satu material yang sama lahir hasil yang berbeda. Siswa tak terpaku pada satu jawaban.

Lalu, berdasarkan beragam kotak itu kita ajukan pertanyaan: Andaikan tiap kotak itu sebidang tanah dan setiap meter perseginya seharga Rp1 juta, berapa harga masing-masing kotak itu? Maka akan ada jawaban yang bervariasi. Yang kotak 1x9 seharga Rp9 juta, yang 2x8 seharga Rp16 juta, yang 3x7 seharga Rp21 juta, yang 4x6 harganya Rp24 juga, dan yang 5x5 seharga Rp25 juta.
Begitulah seterusnya. Soal dibuat lebih variatif lagi dan anak-anak dapat menjawab sesuai dengan pemahaman mereka.

Intinya, untuk mencuatkan kreativitas anak diperlukan keragaman dan stimulasi. Anak-anak perlu kita ajarkan mengamati. Manfaatkan indrawi untuk melihat fenomena. Tidak hanya mengamati tetapi kita dorong untuk bertanya. Bertanya itulah pintu kepenasaran intelektual (intellectual curiosity).

Tidak hanya bertanya, tetapi harus sampai ke menalar. Dan, nanti sampai ke mencoba, sampai ke eksperimen. Sebab, kemampuan kreativitas diperoleh melalui: mengamati (observing), menanyakan (questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting), dan satu lagi membentuk jejaring (networking).

Obyek pembelajarannya tentu saja tak hanya matematika. Bisa mencakup fenomena alam, sosial, dan seni budaya. Artinya, siswa benar-benar belajar dari lingkungan. Pembelajaran mereka relevan dengan keragaman hayati dan keragaman budaya masyarakat. Mereka belajar berkreasi dan berinovasi berdasarkan persoalan yang mereka hadapi, apa pun bidangnya.

Guru diharapkan pandai memfungsikan setiap kenyataan (fisik dan sosial) di sekeliling sekolahnya sebagai stimulan rasa ingin tahu maupun sebagai alat peraga pembelajaran.

Seorang sarjana fisika yang menjadi tokoh pendidikan, Maria Montessori, berpendapat bahwa pendidikan tak selalu harus mengadakan fasilitas yang kadang sulit disediakan. Sebuah pendidikan dipandang baik bila mampu memanfaatkan seluruh mileu atau lingkungan belajar anak didik sebagai pupuk penumbuh kecerdasan. Sebab, sesederhana apa pu sebuah lingkungan hidup, di sana sebenarnya terdapat amat banyak stimulan pembentuk sistem vokabulari berpikir anak manusia. Sehingga, secara tidak dsadari, setiap anak sebetulnya bisa selalu berada dalam proses pencerdasan yang amat besar, di mana pun ia berada.

Sebagai contoh, ambil kosa kata yang mudah dijumpai (easily observable) dalam kehidupan sehari-hari seperti air, sungai, mengalir, dan lain-lain. Kemudian bisa ditanyakan kepada anak-anak: Air di sungai itu mengalir atau tidak? Kenapa? Darimana datangnya air sungai itu dan mengalir kemana? Dan seterusnya. Di situlah awal dari diperkenalkannya Ilmu Pengetahuan Aalam.

Proses pembelajaran menggunakan tema yang sama kemudian dikaitkan juga dengan budaya. Misalnya, menambah cerita bahwa di Bali dikenal ada Subak, sebuah tradisi pembagian air. Kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran teknologi tepat guna bahwa air bisa digunakan untuk pembangkit listrik, yang listriknya sekarang menerangi rumah dan sekolah ‘kita’.

Pembelajaran seperti ini akan sangat hidup dan mudah dicerna oleh anak-anak peserta didik. Pembelajaran ini sangat sejalan dengan tahapan peningkatan rasa ingin tahu di dalam ruang imajinasi yang jelas dan mudah dimengerti.

Selain hidup dan mudah dicerna, pembelajaran ini juga sangat efisien. Tema imajinasi akan bekerja sebagai penunjuk alamat ngatan anak-anak (dalam proses recalling memori) saat digunakan peserta didik menafsir dan memahami sebuah kenyataan atau saat memahami jejang konsep berikutnya yang lebih tinggi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar