Bapak Pendidikan Kita : "Daendels Atau Ki Hadjar Dewantoro?
Bapak Pendidikan Nasional itu sebenarnya
bukan Ki Hadjar Dewantoro, karena apa yang dikenalkan oleh Ki Hadjar
Dewantoro sama sekali tak digubris oleh Pemerintahan Republik Indonesia,
Pendidikan Taman Siswa tak pernah jadi indikator pendidikan nasional
kita, kurikulum pendidikan Taman Siswa tak pernah dijadikan basis dalam
sistem pedagogi kita.
Kita ini senang mengunggul-ungguli
simbol tapi gagap pada substansi, Ki Hadjar Dewantoro diagung-agungken
jadi Bapak Pendidikan, tapi Taman Siswa sendiri hidup tak mau matipun
enggan, Taman Siswa seperti sekolah rakyat yang tak tersentuh, jauh dari
sekolah para dewa, sekolah internasional dan sekolah negeri yang
beracuan pada pendidikan barat.
Bapak Pendidikan secara realistis harus
diberikan kepada Daendels, sebab dia-lah penguasa di Nusantara pertama
yang menciptakan sistem sekolah rakyat. Pada bulan Juni 1810, di Cirebon
Daendels melihat bahwa rakyat sama sekali tak dapat pendidikan aksara,
tak mendapat pendidikan mengenal lingkungannya. Lalu ia berbicara dengan
Pangeran Cirebon untuk segera dibentuk ‘Sekolah Ronggeng’. Pada
dasarnya sekolah ronggeng adalah sekolah pertama kali yang memadukan
sistem pendidikan barat dengan sistem pendidikan timur dimana siswa
didik dikenalkan pada lingkungannya dengan melek huruf, disini berarti
ada pertemuan antara ketercerahan jiwa dengan ketercerahan intelektual.
Daendels terobsesi dengan pemikiran
Descartes yang ingin mengenalkan ilmu pengetahuan kepada banyak orang -
di masa lalu Descartes menjebol buku-buku berbahasa latin ke bahasa
Perancis yang juga berarti bahasa rakyat banyak, apa yang dilakukan
Descartes berlawanan dengan sakralitas ilmu pengetahuan di Eropa pada
masanya, tapi Descartes menjawab “Ilmu pengetahuan bukanlah barang suci,
ia sekedar informasi dan setiap orang berhak atas informasi yang
disampaikan ilmu pengetahuan-. ,
Memang ada kesan congkak dalam pemimpin
cabutan Napoleon Bonaparte ini, tapi tugas utama Daendels di Jawa yang
membangun benteng pertahanan melawan Inggris, juga ia lakukan dengan
membangun skema pendidikan dalam tahapan paling dasarnya.
Pada tahun 1811 di Batavia, Daendels
melihat begitu banyak kematian bayi-bayi, dan tidak adanya perawatan
kesehatan. Daendels memerintahkan dibentuknya sekolah bidan. “Sekolah
Bidan” Daendels bisa dikatakan sebagai sekolah kedokteran tahap pertama
sebelum adanya sistem pendidikan yang sistematis pada masa-masa
selanjutnya.
Daendels mencatat semua
persoalan-persoalan penduduk pribumi dalam sebuah arsip, namun
manifestasi persoalan penduduk pribumi. Setelah era Daendels datanglah
era Raffles dimasan Sir Thomas Stamford Raffles, tidak diperhatikan
pendidikan rakyat, Raffles tergila-gila pada ilmu pengetahuan, ia tak
peduli dengan pembagian informasi ilmu pengetahuan, Raffles malah
membangun perpustakaannya sendiri, kemudian setelah kematiannya di
Singapura perpustakaannya jadi sumber penyumbang terbesar bagi
perkembangan ilmu sejarah, sosiologi dan arkeologi Asia Tenggara ke
Perpustakaan London, salah satu yang menikmati hasil kerja keras Raffles
adalah Karl Marx dan Marx sendiri khusus menyebutkan Raffles ke dalam
salah satu karya terbesarnya ‘Das Kapital’. Namun kerja Raffles sama
sekali tak menyentuh akar-akar pendidikan rakyat. Begitu juga
Gubernur-Gubernur Jenderal selanjutnya seperti Van den Bosch yang lebih
terobsesi mengembalikan biaya-biaya perang Diponegoro dengan kerja rodi
di banyak perkebunan.
Bila Daendels bisa dikatakan Bapak
Pendidikan di Nusantara, maka Van Heutz bisa dikatakan Bapak Pembuka
Sistem Pendidikan. Van Heutz adalah Gubernur Jenderal terbesar pada masa
Hindia Belanda, dimasa dia-lah seluruh Nusantara dijadikan satu
jaringan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Setelah pidato-nya
yang terkenal di Lapangan Banteng 10 Mei 1907 terntang kesempurnaan
geopolitik di wilayah Hindia Belanda, setelah pidato itu ia mengumpulkan
seluruh penggede Hindia Belanda dan akan melakukan politik pendidikan
rakyat, disini Van Heutz membentuk sistem sekolah desa, sebagai alat
pencerdasan rakyat dan memberantas buta huruf, rakyat harus dikenalkan
pada dunia baca dan dunia tulis sehingga pikirannya berkembang. -Dimasa
Van Heutz pula dibicarakan tentang gagasan sekolah peralihan (Schakel
School). Disini Van Heutz menerapkan dasar-dasar pedagogi yang secara
sistematis mengenalkan dunia aksara dan dunia hitung lewat sistem yang
lebih teratur, Van Heutz juga membaca arsip-arsip yang dilaporkan pada
masa Daendels, dan keinginan Daendels membangun sistem pendidikan modern
di Jawa sebagai uji coba sistem pendidikan bagi anak pribumi, Van Heutz
juga membaca laporan-laporan tentang perkembangan politik di Parlemen
Belanda yang menuntut adanya sistem pendidikan teratur di Hindia
Belanda, Parlemen Belanda yang pada waktu itu dikuasai dua kelompok
besar : Sosialis dan Liberal menuntut dengan satu suara “Hidupkan Sistem
Pendidikan Pribumi”.
Sistem pendidikan yang diteriakan
kelompok Van Deventer itu tak pernah sampai ke meja Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, sampai Van Heutz membentuk inisiatifnya sendiri
membangun sistem pendidikan yang progresif.
Apa yang dilakukan Van Heutz ini
disempurnakan oleh Idenburg dan lebih sempurna lagi pada masa Van
Limburg Stirum dengan memasukkan sistem kurikulum paling teratur dan
terintegrasi, sistem kurikulum Van Limburg Stirum sampai sekarang masih
digunakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.
Sebenarnya sekolah-sekolah modern
dibangun di Indonesia sudah ada sejak 1850, hanya saja pembangunannya
itu bertahap, seperti sekolah pendidikan (Kweekschool) itu didirikan
pada tahun 1852 di Surakarta. Namun seluruhnya belum teratur dan masih
dalam rangkaian proses, substansi seluruh sistem pendidikan baru secara
serius digarap dan dijadikan pedoman pedagogis pada tahun 1918 pada masa
Van Limburg Stirum ini.
Kesempurnaan seluruh entitas pendidikan
terjadi pada tahun 1918. Di Hindia Belanda sudah ada pendidikan kejuruan
yang amat efektif seperti sekolah dagang (handels onderweijs), sekolah
pertanian (landbouw onderweijs), sekolah pertukangan (amaatsch leergang)
dan sekolah pertukangan berbahasa Belanda (Ambaatchsschool).
Sekolah-sekolah formal akademis dari HIS
sampai HBS atau AMS dan Universiteit dibangun dimana-mana. Jadi dimasa
ketika Ki Hadjar Dewantoro membangun Taman Siswa ini bukan sebagai
pembentuk sistem pendidikan nasional, tapi perlawanan terhadap substansi
kebangsaan pendidikan nasional.
Berdirinya Taman Siswa tak lepas dari
diskusi panjang dua minggu yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro
(waktu itu nama resminya masih Suwardi Suryoningrat), Drs. Raden Mas
Pandji Sosrokartono, dan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat
kebangsaan, dialog-dialog mereka amat panjang dan menyentuh pada
persoalan kemanusiaan dan rasa jiwa manusia, sehingga dicetuskanlah ide
membangun pendidikan berorientas kebangsaan. Beberapa tahun kemudian
setelah diskusi panjang itu berdiri sekolah Taman Siswa di Yogyakarta
pada tahun 1922.
Pendidikan Taman Siswa adalah pendidikan
perlawanan, awal dari mula-mula diuji coba untuk melawan kurikulum
Belanda dengan sistem pendidikan yang tak mengasingkan anak didik kepada
bangsanya. Ini substansi dari berdirinya Taman Siswa. Namun
perkembangan Taman Siswa ke depan malah dilindas dalam laju sejarah,
Taman Siswa gagal menjadi sistem alternatif pendidikan, kecuali nama Ki
Hadjar Dewantoro yang seakan-akan menjadi simbol atas pendidikan
nasional kita.
Adalah Ki Said, salah seorang guru Taman
Siswa yang paling terkenal dan mengepalai sekolah Taman Siswa di
Djakarta antara tahun 1945-1966, Ki Said mengembangkan sistem pendidikan
Taman Siswa dengan amat revolusioner yaitu : “Bahwa setiap orang
memiliki bakatnya, setiap orang memiliki takdir atas bakatnya” patokan
adagium Ki Said inilah yang kemudian menjadi dasar-dasar pengembangan
Pendidikan Taman Siswa di Djakarta, dan hasilnya di masa Ki Said, Taman
Siswa menyumbangkan seniman-seniman besar Indonesia seperti : Benyamin S
dan pelawak Ateng.
Benyamin S mengenang, pendidikan Taman
Siswa-lah yang membuat ia mencintai dengan amat sangat bangsa sendiri,
ia tidak merasa malu menyanyikan lagu-lagu betawi karena pendidikan
Taman Siswa ini, ia bangga berhadapan dengan gengsi lagu asing, karena
ia merasa bahwa lagu yang ia bawakan adalah identitas paling awal
kemanusiaannya. Ki Said telah membentuk karakter Benyamin S dari seorang
anak bandel tukang catut menjadi seniman paling legendaris yang
dimiliki bangsa Indonesia.
Ki Said amat mencintai Bung Karno, suatu
waktu di awal tahun 1966, Ki Said didatangi mahasiswa-mahasiswa KAMI
yang menentang Bung Karno, ia dipaksa menyuarakan kutukan terhadap Bung
Karno, tapi apa jawab Ki Said “Bung Karno-lah yang
mengenalkan anak-anak seluruh Indonesia di tahun 1945 tentang rasa cinta
kepada bangsa sendiri, Bung Karno-lah yang membentuk -nation-
Indonesia, itu Bung Karno-ku, perkara Bung Karno yang suka main
perempuan, yang kalian cap tak mampu membangun ekonomi bangsanya di
tahun 1966, itu Bung Karno kalian, dan aku tak ingin mengutuk sedikitpun
Bung Karno-ku-.
Kesadaran Nasional adalah inti dari
pendidikan Taman Siswa, inti dari pemikiran Ki Hadjar Dewantoro, apabila
sistem pendidikan nasional tak menghasilkan kesadaran nasional,
kebanggaan sebagai bangsa, kebanggaan bahwa kita adalah bangsa yang
mampu menyumbangkan kebudayaan dunia, membentuk peradaban baru, maka
jangan sekali-kali kalian menyatakan Bapak Pendidikan Nasional kalian
adalah Ki Hadjar Dewantoro, tapi secara realitas memanglah Bapak
Pendidikan Nasional kalian adalah Daendels, karena Daendels membangun
pendidikan tanpa jiwa nasionalisme ia hanya ingin menyebarkan ilmu
pengetahuan, sama seperti orang tua sekarang yang lebih bangga anaknya
bisa bahasa Inggris di tempat-tempat umum ketimbang lancar berbahasa
Indonesia.
Kepada Ki Hadjar, kepada Ki Said bangsa Indonesia berterima kasih telah dibentuk jiwanya.-Anton DH Nugrahanto- , Jakarta 2 Mei 2012-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar